KUALA LUMPUR, KOMPAS.com — Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi London School of Public Relations (Stikom LSPR) menghadiri “Kongres Praktisi PR Muslim Sedunia” (Global Congress for Moslem Public Relations Practitioners) yang berlangsung di Kuala Lumpur, Malaysia, 4-8 Desember 2011.
Dalam kongres tersebut, Prita Kemal Gani, MBA, MCIPR, IPR, Direktur Stikom LSPR yang juga Ketua Umum Perhumas, didampingi dosen senior Stikom LSPR, Nico Wattimena, MA, PhD, MCIPR, serta sejumlah mahasiswa Stikom LSPR.
Konferensi internasional bertema “Praktik PR di Negara-negara Islam; Tren Masa Lalu, Masa Kini, dan Masa Mendatang” ini diselenggarakan International Islamic University of Malaysia dan Kargozar Public Relations Institute Teheran (Iran) serta didukung Federation of ASEAN Public Relations Organizations, yang menghadirkan 17 pembicara dari 17 negara.
Mantan Perdana Menteri Malaysia Tun Abdullah Ahmad Badawi mengatakan, saat ini adalah waktu yang paling tepat untuk menampilkan potensi masyarakat Muslim dengan memberikan kontribusi bagi peradaban manusia.
“Kita dapat menunjukkan, warisan Islam untuk kemajuan umat manusia tidak hanya terhenti pada masa keemasan berabad-abad lalu, tetapi terus memberikan kontribusinya hingga saat ini,” ujarnya.
Menurut Badawi, dengan sumber daya yang dimiliki, para praktisi PR Muslim harus berperan aktif dalam merancang dan melaksanakan kampanye yang efektif untuk menunjukkan citra positif terhadap Islam. Penggunaan perangkat telekomunikasi terbaru juga harus dilakukan untuk menyiarkan berita-berita positif tentang Islam.
Sementara itu, Wakil Menteri Industri dan Perdagangan Internasional Malaysia Datuk Mukhriz Mahathir mendesak para praktisi PR Muslim agar memainkan peranan dalam memperbaiki kesalahpahaman atau persepsi yang keliru terhadap Islam.
Dia juga meminta praktisi PR Muslim untuk terus-menerus membantah informasi yang memberikan gambaran yang salah tentang Islam.
“Prasangka, rasisme, Islamophobia merupakan ekspresi nyata yang tidak akan mudah hilang. PR yang efektif merupakan salah satu metode untuk mengatasi masalah ini dan mengembalikan kebenaran yang nyata,” katanya.
Dalam kesempatan itu, Prita menyampaikan presentasi mengenai organisasi dan tren PR ditinjau dari perspektif Islam di Indonesia.
Sebagai Ketua Perhimpunan Hubungan Masyarakat Indonesia (Perhumas), Prita menandatangani naskah kerja sama antara Perhumas dan Institute of Public Relations Malaysia (IPRM) di bidang pengembangan kegiatan PR di kedua negara.
Sementara itu, Nico Wattimena menyampaikan presentasi berjudul “Public Relations Ethics in An Islamic Framework; Considered from A Contemporary Indonesian Perspective”.
Menurut Nico, Indonesia sebagai negara dengan jumlah populasi terbesar keempat di dunia dan jumlah populasi Muslim terbesar di dunia telah memiliki sejarah panjang dan kaya dalam penerapan praktik-praktik Islam di segala bidang.
Penyebaran agama Islam yang dipadukan dengan budaya setempat kemudian dilakukan di Jawa melalui sembilan tokoh agama yang terkenal dengan sebutan Wali Songo. Dari Jawa, Islam menyebar ke berbagai tempat di Nusantara. Saat ini, sekitar 90 persen dari total penduduk Indonesia beragama Islam.
Sebagai negara dengan beragam etnik, agama, dan budaya, Indonesia disatukan oleh ideologi negara, yaitu Pancasila. Sebagai alat pemersatu bangsa dalam melawan penjajahan, Pancasila juga sesuai dengan nilai-nilai dasar Islam, yang menjadi pertimbangan utama pada saat menentukan falsafah negara.
Etika dan ikatan kepercayaan yang terkandung dalam Pancasila itu secara historis telah mengatur perilaku umat Islam di Indonesia. Termasuk pula dalam praktik-praktik kehumasan atau PR, seperti yang telah ditampilkan tokoh-tokoh besar Islam di Indonesia, seperti Muhammad Hatta, Buya Hamka, dan Abdurrahman Wahid.
Nah, bagaimana seharusnya praktisi PR Muslim di Indonesia memandang masalah etika dalam pemikiran ataupun perbuatannya?
Nico menyitir sebuah hadist Nabi Muhammad SAW tentang ciri-ciri manusia yang munafik. Intinya, hadist itu menyatakan, orang munafik adalah yang berkhianat ketika dipercaya, berbohong ketika bicara, ingkar ketika berjanji, dan jahat ketika bertindak. Berdasarkan hadist Rasullullah tersebut, ada dua hal penting yang disampaikan Nico agar seorang praktisi PR Muslim dapat bertugas dengan benar.
Pertama, selalu bijaksana dalam bertindak. Pesan kunci yang harus disampaikan oleh seorang PR Muslim hendaknya tidak menyakiti perasaan orang lain. Mempertimbangkan perasaan dan keyakinan orang lain sangat penting untuk menghindari konfrontasi dan konflik dalam hubungan antarmanusia, seperti yang diajarkan Rasullullah SAW.
Kedua, perlunya kebutuhan untuk menjembatani kesenjangan budaya dengan menjangkau kelompok budaya, etnis, dan agama yang berbeda. Hal ini berarti seorang praktisi PR Muslim haruslah menyesuaikan pesan untuk kalangan-kalangan tertentu berdasarkan saling menghormati dan saling percaya.
Pembentukan bangsa Indonesia berdasarkan Pancasila dan relevansinya dengan ajaran-ajaran Islam, serta peningkatan pemahaman akan pentingnya PR, didorong begitu rupa oleh perkembangan teknologi informasi. Meski demikian, penerapan prinsip-prinsip dasar Islam oleh seorang praktisi PR Muslim tetap jelas.
“Sebagai praktisi PR, kita akan menghadapi tantangan serius terhadap berkurangnya kejujuran, etika, dan integritas. Namun, sebagai Muslim, kita selalu dilindungi dan dibimbing agama kita. Selama kita mematuhi apa yang diajarkan Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW, kita akan selalu mendapatkan keselamatan, keamanan, dan kepastian dalam setiap tindakan dan keputusan kita,” kata Nico, Rabu (21/12/2011).
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul “Berkurangnya Kejujuran, Etika, dan Integritas Jadi Tantangan PR”, Klik untuk baca: https://edukasi.kompas.com/read/2011/12/21/17483135/Berkurangnya.Kejujuran..Etika..dan.Integritas.Jadi?page=all.
Leave A Comment