Sumber : Go Hitz
Judul : Prita Kemal Gani Memajukan Negeri Lewat Ilmu Hubungan Masyarakat
Tanggal : 4 Oktober 2016
Penulis : Fathur Rochman
Jakarta, GoHitz.com – Seorang perempuan paruh baya sedang duduk santai menikmati secangkir teh dan sepiring kentang goreng di salah satu sudut restoran bergaya Victorian di bilangan Kemayoran Baru, Jakarta Selatan. Melihat penampilannya yang anggun, bahasa tubuhnya yang lugas dan manner-nya yang sangat terjaga, memberi kesan bahwa perempuan tersebut memiliki “kelas” tersendiri. Ketika GoHitz menghampiri dan mulai menyapa perempuan tersebut, terdengar tutur kata yang lembut namun tetap berwibawa dari bibir yang belakangan diketahui bernama Prita Kemal Gani. Perempuan yang tetap cantik meski telah berusia 54 tahun itu merupakan pendiri sekaligus pemilik The London School of Public Relations.
Mengetahui bahwa Prita ternyata adalah pimpinan dari salah satu sekolah tinggi terkemuka di Indonesia yang concern terhadap pendidikan ilmu public relations, maka menjadi sangat wajar jika beliau memiliki penampilan dan prilaku yang sangat elegan, bak seorang PR yang sangat handal. Di sore hari yang lumayan cerah, GoHitz dan Prita mulai terlibat dalam obrolan santai membahas tentang berbagai hal. Sampai pada akhirnya, ibu dari tiga orang anak tersebut menceritakan tentang latar belakang dirinya menyukai dunia public relations, pengalamannya sebagai pemilik LSPR, kegiatannya di kancah internasional hingga kehidupan pribadinya bersama keluarga tercinta.
Jatuh Cinta pada Dunia Public Relations
Prita lahir di Jakarta pada 23 November 1961 dan merupakan anak kedua dari lima bersaudara pasangan Sudaryono dan Tity. Ayahnya telah meninggal saat dirinya masih berusia 5 tahun. Sejak saat itu, Prita tumbuh dan berkembang lewat kasih sayang sang ibunda. Saat kecil, Prita sebenarnya bercita-cita ingin menjadi seorang guru. Di benaknya kala itu, guru dianggap sebagai sosok yang hebat dan sangat inspiratif karena mampu menjawab berbagai pertanyaan yang dilontarkan murid-muridnya. Ketika beranjak remaja, Prita kemudian mengutarakan keinginnya tersebut kepada Ibundanya. Namun sang ibu tidak terlalu menyetujui keinginan Prita untuk menjadi seorang guru. Ibundanya lebih berharap Prita mau melanjutkan pendidikan di bidang perhotelan, sebagaimana mengikuti jejak ibunya yang merupakan seorang Manajer Hotel di Bengkulu.
Menuruti kehendak ibundanya, di tahun 1981 Prita masuk jurusan Perhotelan di Universitas Trisakti. Di sana dia belajar tentang segala seluk beluk dunia perhotelan. Hingga pada suatu ketika Prita diharuskan oleh kampusnya untuk job training/magang guna mempraktekkan kemampuannya tentang dunia perhotelan yang telah dipelajari. Prita lalu diterima untuk magang di Hotel Hilton Jakarta. Di hotel tersebut, dirinya ditempatkan pada bagian public relations. Berada dalam lingkungan dunia kerja seorang PR, Prita menemukan ketertarikan yang cukup kuat pada pekerjaan tersebut. Tanpa disadari, benih-benih cinta terhadap dunia public relations mulai muncul di benak Prita.
“Pekerjaan seorang PR itu kok enak sekali ya. Jadi waktu saya di Hotel Hilton itu lagi heboh-hebohnya kedatangan Erik Estrada (aktor asal Amerika Serikat). Semua orang ingin bertemu dia, tetapi ternyata orang yang pertama kali mengalungkan Erik Estrada dengan bunga adalah PR-nya. Disitu saya melihat bahwa PR ini punya banyak kesempatan, dia bisa bertemu dengan tokoh hebat, orang VVIP, dan Menteri. PR ini sangat glamor sekali,” ujar Prita dengan mata menerawang mengingat pengalaman indah yang pada akhirnya mengubah kehidupannya tersebut.
Setelah lulus dari Universitas Trisakti, langkah besar kemudian diambil oleh Prita dengan meneruskan pendidikannya ke Inggris, tepatnya di London City College of Management Studies, London. Di sana Prita mengambil pendidikan public relations. Tahun 1987 Prita lulus dan kembali ke tanah air. Setahun setelahnya, Prita kembali mengambil pendidikan di International Academy of Management and Economic, di Manila, Filipina.
Setelah sukses mengambil gelar Master di Manila, pada tahun 1989 Prita kembali lagi ke Indonesia dan mulai bekerja sebaga seorang Public Relations di Perusahaan internasional yang bergerak di bidang fitness center bernama Hatch Clark International. Di perusahaan tersebut Prita menghandle semua pekerjaan perusahaan yang berhubungan dengan mitra dari Hatch Clark. Dalam perjalanannya berkarir di perusahaan tersebut, Prita kerap menerima anak kuliah yang sedang magang untuk posisi PR. Di sinilah niat untuk membuat sekolah PR muncul.
“Hatch Clark ini punya anak cabang yang tersebar di Indonesia, ada di Medan, Surabaya, Yogyakarta, dan Jakarta. Untuk itu saya butuh asistan. Kebetulan saya disini ngasih magang buat mahasiswa-mahasiswa jurusan komunikasi. Tapi, ternyata Anak-anak ini tidak siap untuk ambil PR. Di situlah saya berpikir kayaknya ini kalau saya ajarin orang, ini ilmu saya akan bermanfaat. Kalau gitu saya ingin buat sekolah PR deh, tap bagaimana caranya saya buat sekolah,” tutur Prita.
Mendirikan LSPR
Didorong oleh keinginnya untuk memiliki sekolah yang mengajarkan tentang public relations, Prita mulai memutar otak untuk memikirkan langkah yang tepat agar impiannya itu terwujud. Awalnya Prita mencoba menjadi seorang dosen di Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi InterStudi. Namun seiring berjalannya waktu, perempuan yang aktif berorganisasi itu berpikir untuk membuat sebuah tempat kursus yang khusus mengajarkan ilmu public relations. Berbekal uang tabungan yang dimiliki, pada tahun 1992 Prita menyewa sebuah ruangan seluas 12 meter persegi di Gedung Word Trade Center, Sudirman, Jakarta yang kemudian dijadikan sebagai tempat kursus public relations.
Di awal pembentukannya, Prita menggandeng istri para ekspatriat yang sering fitness di tempat kerjanya, untuk membantu dalam proses belajar mengajar di tempat kursus miliknya. Untuk jumlah murid yang bisa mengikuti kursus, Prita hanya membatasi sebanyak 30 orang peserta, padahal peserta yang mendaftar mencapai 300 orang. Hal tersebut dilakukan karena ruangan kelas yang sangat terbatas. Para peserta yang belajar tentang public relations di tempat kursus Prita kebanyakan berasal dari profesi sebagai marketing, sekretaris dan juga Manajer operasional. Semua profesi yang berkaitan dengan berjumpa dengan banyak orang.
Kurang lebih selama tiga bulan tempat kursus public relations milik Prita menempati ruangan di Gedung WTC. Melihat semakin besarnya antusias masyarakat yang ingin kursus di tempatnya, Prita lalu memutuskan untuk memindahkan tempat kursusnya di Gedung Wisma Dharmala, dan Gedung Bimantara, Jakarta. Prita juga menggunakan Gedung di Dewan Pers sebagai ruangan kursusnya. Kegiatan tersebut terus berlanjut hingga tahun 1998.
Tahun 1999 merupakan tonggak bersejarah dalah karir seorang Prita. Di tahun tersebut, tempat kursus yang telah dia kelola selama 7 tahun, akhirnya ditingkatkan menjadi Sekolah Tinggi. Berawal dari keluhan para orang tua peserta yang merasa terkendala karena anaknya tidak bisa melanjutkan ke pendidikan formal setelah mengikuti kursus, Prita akhirnya mengambil keputusan penting dengan mengubah status tempat kursusnya yang awalnya hanya lembaga pelatihan, menjadi sekolah tinggi yang fokus terhadap pendidikan ilmu public relations.
“Sampai di tahun 1997-1998, ketika itu krisis moneter dan dollar menjadi Rp16 ribu, banyak sekali orang tua yang tidak jadi menyekolahkan anaknya ke Inggris. Akhirnya, para orang tua memilih untuk kursus di London School. Karena London School saat itu masih tempat kursus, maka si anak ketika telah selesai kursus, mereka tidak bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Lalu usulan dari para ibu itu bilang kenapa tidak dibuat perguruan tinggi saja?” ucap Perempuan yang pernah menjabat sebagai Ketua Umum Perhimpunan Hubungan Masyarakat Indonesia (Perhumas) periode 2011-2014 ini.
Langkah Prita untuk mendirikan Sekolah Tinggi semakin mulus, ketika Menteri Pendidikan saat itu, Malik Fadjar menyetujui pendirian Sekolah Tinggi Yang diajukan Prita. Persetujuan tersebut didadasari karena kebijakan pemerintah pada saat krisis moneter kala itu adalah mengutamakan segala hal tentang pendidikan, termasuk pendirian sekolah tinggi. Maka pada tahun 1999 Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi The London School of Public Relations Jakarta resmi dibuka.
“Kenapa namanya London School? Saya punya teman di British Council, dia bilang saya harus ke London Chamber of Commerse untuk membuat proposal. Karena kan kami ingin ijazah kita langsung dari London. Anda bisa mendapatkan pendidikan setara di London tanpa harus ke London. Jadi, agar proposal saya diterima, saya harus memadukan nama London dan Jakarta. Nama London harus diikutsertakan agar mereka tertarik. Jadi kita gunakan nama London School of Public Relations Jakarta,” tutur Prita.
Bak keran air yang baru dibuka, aliran peserta didik yang ingin mendaftar semakin deras. Tidak lama setelah LSPR diresmikan, jumlah mahasiswanya telah mencapai 2500 orang. Dengan mahasiswa sebanyak itu, tentu Prita membutuhkan tempat yang lebih luas. Disinilah Prita sempat mengalami kesulitan. Pasalnya, dia tidak memiliki cukup uang untuk membeli sebuah bangunan yang lebih besar. Dirinya terus memutar otak bagaimana bisa mendapatkan dana segar untuk membeli sebuah gedung. Sementara itu, di sisi lain dia enggan untuk meminjam uang ke bank. Ide cemerlang pun muncul, Prita dengan cerdik melakukan stretegi promosi dengan cara memberikan potongan harga kepada para orang tua mahasiswa yang mau bayar uang sekolah lebih dahulu.
“Siapa yang mau bayar uang sekolah lebih dulu, dia dapat diskon. Tanpa diduga ternyata banyak sekali orang tua yang ikut. Akhirnya uangpun terkumpul dan Alhamdulillah saya bisa membeli 18 ruko di kawasan Sudirman Park. Setiap kesulitan pasti ada jalan keluar,” ujar Prita.
Kini, LSPR menjelma sebagai salah satu Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi dan Kehumasan terbaik di Indonesia. Selain membuka jalan bagi para mahasiswa yang ingin mendalami ilmu tentang public relations, Prita juga telah memberi lapangan pekerjaan bagi ratusan orang yang bekerja di Sekolah Tinggi miliknya. Kini LSPR telah memiliki program S2. Tidak hanya itu, LSPR juga telah membuka cabang di Bali dan di Jatiwarna, Bekasi. Bahkan baru-baru ini, LSPR juga akan melakukan ekspansi dengan membuka cabang di Dubai, Uni Emirat Arab.
Menjadi President of ASEAN Public Relations Network
Selain menjadi pimpinan di LSPR, Prita juga aktif dalam berbagai organisasi. Salah satunya adalah sebagai Ketua Umum Perhimpunan Hubungan Masyarakat Indonesia. (Perhumas) Periode 2011 hingga 2014. Selama menjabat pada organisasi tersebut, Prita kerap menjalin komunikasi dengan Ketua-ketua organisasi kehumasan di negara-negara ASEAN.
Berawal dari komunikasi yang intens itulah, maka pada 2 Juni 2014 dibentuk sebuah wadah yang menaungi sekaligus menyatukan para public relations se-ASEAN yang bernama ASEAN Public Relations Network (APRN). Organisasi ini bertujuan untuk menyatukan visi, misi dan standar bagi profesi Public Relations di ASEAN. Prita pun didaulat sebagai Presiden untuk organisasi tersebut.
Melalui organisasi ini, Prita berusaha untuk Memajukan Indonesia lewat komunikasi bilateral antar negara ASEAN. Dengan adanya APRN, berbagai masalah antar negara-negara ASEAN bisa diselesaikan melalui jalur diplomasi. Prita memberi contoh soal kasus kebakaran hutan di Indonesia yang asapnya berdampak kepada negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura. Lewat APRN, Prita mencoba menjelaskan tentang kondisi yang terjadi di Indonesia.
“Misalnya, masalah asap. Orang Indonesia dan Singapura jadi timbul gesekan. Makanya itu perlu adanya peran seorang PR disitu agar ada kerukunan supaya kami bisa saling sama-sama menjaga. Akhirnya, kami harus membicarkaan kebakaran hutan ini tidak bisa diperlakukan sama dengna kebakaran lainnya. Hey Singapura ini saudaramu sedang tertimpa kebakaran, Kamu seharusnya ikut membantu memadamkan api agar dampaknya tidak semakin meluas. Kita jangan saling ejek dan bergesekan. Ini tidak menyelesaikan masalah, seperti itu. Kalau kita bersaudara maka bisa saling sayang,” terang Prita.
Selain sebagai sarana diplomasi ketika terjadi masalah antar negara-negara ASEAN, Prita juga menjadikan APRN ini sebagai jembatan bagi lulusan komunikasi dan kehumasan di Indonesia agar bisa berkarir tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di negara-negara ASEAN. Jumlah mahasiswa yang lulus dari jurusan komunikasi dan kehumasan di Indonesia terus bertambah setiap tahunnya. Maka dengan adanya APRN ini diharapkan bisa menyerap banyak tenaga public relations asal Indonesia yang bisa berkiprah di negara-negara ASEAN. Menurut Prita, lulusan public relations di Indonesia sudah sangat mampu bersaing dengan para lulusan public relations dari negara-negara ASEAN lainnya.
Sosok yang Sangat Sayang Keluarga
Sejak 12 tahun yang lalu Prita sudah tidak lagi aktif berkegiatan di luar rumah. Dia telah mendelegasikan semua pekerjaan yang harus dia lakukan di kantor, kepada para staf kepercayaannya. Prita kini lebih banyak menghabiskan waktu bersama anak bungsunya, Raysha Dinar Kemal Gani. Ya, Raysha lebih banyak mendapat prioritas dibanding dengan kedua anaknya yang lain, yaitu Fauzan Kanz Kemal Gani dan Gina Amani Kemal Gani karena Raysha mengalami autisme. Bersama sang suami tercinta, Kemal Effendi Gani, Prita berusaha memberikan seluruh cinta dan kasihnya kepada anak bungsunya tersebut.
Memiliki anak yang mengalami autisme seperti sebuah ironi bagi Prita. Bagaimana tidak, Prita yang telah sukses mencetak puluhan ribu mahasiswa yang pandai berkomunikasi, justru memiliki anak yang sama sekali tidak bisa berbicara. Perasaan sedih yang teramat sangat sempat mengendap dalam benak Prita. Namun Prita sadar, meratapi apa yang telah terjadi tidak akan berarti apa-apa. Prita pun mendapat sebuah petuah dari sang ibunda, bahwa kehadiran Raysha mungkin adalah sebuah pesan yang dititipkan Tuhan kepandanya. Kenyataan tersebut menyadarkan Prita bahwa sesungguhnya ada banyak cara yang bisa dilakukan manusia untuk berkomunikasi, tidak hanya melulu harus melalui verbal.
Prita akhirnya mampu bangkit dan mencoba memaknai peristiwa ini sebagai sebuah pesan Tuhan kepada dirinya agar senantiasa kuat dan selalu bersyukur atas apa yang sudah diberikan oleh Tuhan. Prita pun lalu menggandeng para ibu yang juga memiliki anak dengan autistik untuk membuat berbagai kegiatan yang berkaitan dengan pendidikan tentang anak dengan autisme, seperti seminar dan penyuluhan. Hal itu untuk mengubah mindset kebanyakan orang yang menganggap anauk autis adalah anak yang bandel, bodoh, susah diatur, bahkan dicap gila. Prita ingin semua stigma tersebut enyah dari pandangan masyarakat.
Prita kemudian memutuskan untuk membuka London School Autism Awarenss Center (LSAWC), sebuah lembaga yang concern terhadap para penderita autisme. Lembaga ini banyak melakukan kegiatan seperti pelatihan, seminar, sosialisasi serta pendidikan untuk melayani anak-anak autistik. Selain itu, Prita juga membentuk parent support group dan sibling support group, dimana Prita ingin memberikan semangat kepada orang tua dan saudara yang memiliki anak atau adik/kakak yang menderita autistik. Prita berharap dengan adanya berbagai lembaga dan grup ini, mampu memberikan dampak positif dan juga bisa menginspirasi orang lain untuk lebih aware terhadap para penderita autistik.
Kini Prita telah menemukan Jawaban atas pesan yang dititpkan Tuhan kepadanya. Prita juga telah mengambil hikmah dari segala peristiwa yang telah dialaminya. Sebelum menutup perbincangan dengan GoHitz, Prita Mengungkap satu keinginan yang hingga saat ini masih ingin dia wujudkan. Sebuah keinginan kecil namun memiliki makna yang sangat dalam bagi dirinya. “Saya ingin bisa membaca Al Quran,” pungkasnya.
Leave A Comment