Sumber : Nusa Bali
Judul : Prita Kemal Gani
Tanggal : 7 Augustus 2016
Penulis : NV
Link :
Halaman 1 http://www.nusabali.com/berita/6716/prita-kemal-gani/halaman/1
Halaman 2 http://www.nusabali.com/berita/6716/prita-kemal-gani/halaman/2
Halaman 3 http://www.nusabali.com/berita/6716/prita-kemal-gani/halaman/3
Halaman 4 http://www.nusabali.com/berita/6716/prita-kemal-gani/halaman/4
Prita Kemal Gani
TIDAK seperti masa lalu, seorang public relation (PR) biasa ditempatkan di divisi yang sama dengan marketing atau divisi lain dari sebuah perusahaan, di masa sekarang PR sudah dijadikan divisi tersendiri mengingat betapa pentingnya peran seorang PR untuk merepresentasikan sebuah perusahaan.
Berbicara soal peran seperti ini di tanah air, nama Prita Kemal Gani tak bisa dilepaskan. Sosok ramah ini sudah 24 tahun menghasilkan PR yang menyebar di tanah air, di berbagai macam company, termasuk di Bali. “Ya, terutama hotel-hotel di Bali banyak didikan kami,” ungkap Prita yang menjadi pendiri dan pemilik STIKOM The London School of Public Relations (LSPR).
Prita merintis lembaga pendidikan hubungan masyarakat (public relations) pada 1 Juli 1992 dalam bentuk kursus. Setelah 7 tahun, pada tahun 1999 akhirnya lembaga tersebut diresmikan menjadi STIKOM The London School of Public Relations (STIKOM-LSPR) yang dikenal sebagai lembaga pendidikan yang cukup bergengsi di Jakarta. Prita memimpin langsung lembaga itu dengan menjabat sebagai direkturnya.
Kurun waktu 24 tahun, sebuah masa yang panjang. “Kalau dihitung, sudah ada 20.000 alumnus yang kami hasilkan,” tambah Prita. Ya, Prita adalah ikon bidang kehumasan di Indonesia. Bahkan dia pernah didaulat menjadi perempuan pertama yang menjabat Ketua Umum Perhimpunan Hubungan Masyarakat Indonesia (Perhumas) pada periode 2011-2014.
Prita merupakan salah seorang di antara lima bersaudara yang lahir dari pasangan Sudaryono (ayah) yang berdarah Jawa dengan Tity (ibu) yang berdarah Minangkabau. Dia menjadi yatim setelah ayahnya meninggal dunia ketika usianya baru 5 tahun. Ayahnya, Sudaryono adalah seorang penerbit dan wartawan Suluh Indonesia, ia meninggal pada usia yang belia, 37 tahun.
Pada tahun 1992, Prita menikah dengan seorang jurnalis, Kemal Effendi Gani yang kemudian hari menjadi Pemimpin Redaksi dan juga Pemimpin Umum Majalah SWA. Pernikahan mereka dikaruniai tiga orang anak, Ghina Amani Kemal Gani, Raysha Dinar Kemal Gani, dan Fauzan Kanz Kemal Gani.
Sosok Prita tak asing dan kerap beredar di berbagai kesempatan. Jika diperhatikan, ada ciri khas menarik dari tiap penampilannya, yaitu bros ukiran huruf LSPR yang selalu tersemat di dadanya. Seperti ketika ditemui NusaBali di LSPR Bali di Jalan Gatot Subroto Timur Denpasar pada Sabtu (6/8).
Bagi wanita berdarah Padang–Solo ini, LSPR memang sudah menjadi jiwanya sejak ia mendirikan sekolah kehumasan ini, 24 tahun silam. “Dari dulu saya sudah bercita-cita untuk menjadi guru. Tapi, ibu saya lebih senang kalau saya memulai bisnis sendiri. Ketika mendirikan LSPR ini seakan menjadi jawaban dari keinginan saya dan Ibu,” ungkap Prita.
Praktisi PR di Indonesia, menurut Prita, berkembang dengan pesat dan dicari banyak perusahaan. Peluang inilah yang lantas sukses ditangkap Prita. Lalu, mengapa ia memilih bidang pendidikan? Semua itu tak lepas dari rasa prihatinnya melihat kondisi saat itu (tahun 1992, ketika LSPR pertama kali berdiri) belum banyak lulusan dari komunikasi maupun PR yang siap terjun ke dunia profesional. Itu sebabnya, ia mendirikan LSPR sebagai sebuah training school untuk mereka yang ingin menjadi PR profesional.
Kini, LSPR sudah menjadi perguruan tinggi swasta yang menyelenggarakan program sarjana ilmu komunikasi yang terbagi atas enam konsentrasi bidang, yaitu public relations, international relations, marketing, mass communication, visual design communication, advertising dan performing arts communication, serta empat program pascasarjana yang terbagi menjadi 4 konsentrasi yaitu, corporate communication, marketing communication, international relation communication, dan mass media management.
BIODATA
Nama : Prita Kemal Gani
Lahir : 23 November 1961
Suami : Kemal Effendi Gani
Anak : – Ghina Amani Kemal Gani
– Raysha Dinar Kemal Gani
– Fauzan Kanz Kemal Gani
Orang tua : Sudaryono (ayah) dan Tity (ibu)
Pendidikan
– Akademi Perhotelan Trisakti, Jakarta
– Management Studies di London, Inggris
– MBA dari International Academy of Management & Economics, Manila, Filipina]
Bidik Calon PR di Pulau Dewata
KECINTAAN Prita Kemal Gani terhadap dunia kehumasan telah memotivasi dirinya untuk memajukan dunia ini lewat pendidikan. Kini, usahanya yang tak setengah-setengah dalam mengembangkan bisnis yang ia rintis sejak 24 tahun silam itu, terbayar sudah. Selain sukses membawa LSPR menjadi salah satu sekolah kehumasan yang tepercaya di tanah air, ia juga makin melebarkan sayap bisnisnya. Setelah sukses dan menjadi ‘brand’ dengan kampus di Jakarta-nya, Prita pun melebarkan sayapnya ke Bali. Sejak setahun silam, LSPR menjalin kerjasama dengan Sekolah Tinggi Pariwisata Bali Internasional (The International Bali Tourism Institute). Belum cukup di situ, kini kampus yang baru sudah diresmikan di Jalan Gatot Subroto Timur Denpasar pada Sabtu (6/8).
“Selama ini banyak mahasiswa dari Bali yang belajar di LSPR Jakarta. Karena itulah kami mendekatkan diri dengan Bali,” terang Prita. “Selain itu Bali adalah kota internasional dan di sini diperlukan public relations terbaik,” tambahnya.
Bahkan bukan hanya Bali saja yang disasarnya. Dubai di Uni Emirat Arab pun sudah dalam bidikannya. Prita menyebut ada dua juta warga negara Indonesia di middle east yang haus akan pendidikan. WNI dalam berbagai bidang pekerjaan itu pun sebenarnya ingin mencari ilmu. Namun karena tidak memungkinkan untuk pulang ke tanah air, maka LSPR lah yang ‘jemput bola’. “Akan ada tatap muka maupun perkuliahan secara online,” cetus Prita.
Sementara itu saat pembukaan kampus barunya di Denpasar, sebelumnya juga dirangkaikan dengan workshop dengan peserta mahasiswa LSPR Jakarta bersama perwakilan Web TV Asia, British Council, perwakilan Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia di Bali. Peresmian kampus baru itu juga disertai dengan penandatanganan nota kesepahaman antara LSPR dengan PHRI Bali mengenai sertifikasi dan kompetensi Public Relation.
“PHRI Bali menyambut gembira kehadiran LSPR di Bali. Karena inilah salah satu upaya kita bersaing di masa MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN). Ini adalah salah satu upaya kita meningkatkan sumber daya berkompetisi di era MEA,” kata Sekretaris PHRI Bali, Perry Markus.
Peran PR pun disebut Perry sangat penting di masa sekarang. “Dulu PR gabung dengan department lain, seperti marketing. Tapi sekarang banyak yang dibikin tersendiri. Ini berarti PR dianggap penting dan menentukan,” kata Perry. Atas dasar itu pula Perry menyebut ada kans dan kesempatan luas bagi lulusan PR. “Apalagi Bali kehidupannya bergantung dari pariwisata,” tambahnya.
Sebelumnya Prita sendiri pernah menyoroti soal MEA. Diakui jika dari aspek kompetensi dasar, praktisi public relations Indonesia sudah cukup siap. Tapi disorotinya kelemahan dari segi bahasa. “Kalau Negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, dan Filipina mereka lebih baik bahasa Inggrisnya karena dari kecil sudah terbiasa. Mereka bisa menulis bahasa Inggris lebih baik, mereka punya vocabulary lebih banyak. Tapi kalau dari segi teknik atau strategi kita tidak kalah dengan PR negara tetangga,” kata Prita seperti dikutip swa beberapa waktu lalu.
“Sekarang yang harus kita pikirkan bukan hanya MEA saja, karena kita sekarang ibarat tinggal di kapal besar dunia, karena kita sekarang ibarat tinggal di kapal besar dunia, isinya itu 193 negara di dunia. Kita dalam satu kapal global, jadi kita itu global citizen. Sekarang bagaimana kita menyampaikan pesan kepada orang non – ASEAN. Forbes mengatakan sebaiknya dunia melirik ASEAN harus dipimpin oleh orang ASEAN.” *
Dukungan Keluar dan Komitmen terhadap Karyawan
MENGUTIP survei Ernst & Young, Prita Kemal Gani menyatakan bahwa perempuan di Asia, khususnya ASEAN, peluangnya 60-70 persen lebih besar dibanding perempuan di negara-negara barat seperti Eropa dan Amerika. Salah satu alasannya, karena perempuan di ASEAN mendapat dukungan keluarga, mulai dari orang tua, kakak, adik, sehingga mereka bisa fokus dalam pengembangan karier maupun bisnisnya. “Untuk mendapatkan pembantu, baby sitter, atau sopir tidak semahal di Amerika. Mereka baru bisa punya itu kalau posisinya sudah tinggi karena mahal sekali,” katanya.
Ini juga yang dirasakan Prita di masa-masa awal membangun London School of Public Relations setelah melepas kariernya di dunia kehumasan. Sebelum menikahi pria pujaannya, Kemal Effendi Gani, ia sempat berpikir bakal punya waktu bersama keluarga saat membuka usaha sendiri setelah menikah kelak. Tapi, kenyataannya, ia jauh lebih sibuk saat membangun usaha sendiri. “Kalau sebagai profesional, kita bekerja dari jam 9 sampai jam 5. Kalau ada pekerjaan tambahan kadang-kadang saja. Kalau menjadi entrepreneur, pulang kerja saja masih ada yang dipikirkan, bahkan sampai terbawa mimpi,” ujarnya.
Menurut Prita, kunci sukses dalam berbisnis adalah komitmen terhadap karyawan. Sama halnya dengan komitmen kepada pekerjaan sebagai seorang profesional. Jangan sampai usaha yang dirintis terus maju, tetapi nasib dan kesejahteraan karyawan tidak ikut membaik. Komitmen ini juga yang dipegangnya dengan teguh saat mengembangkan London School of Public Relations. “Saya punya komitmen dan tanggung jawab. Kalau punya usaha jangan sampai karyawan kita tidak maju. Karyawan kita juga punya keluarga, tidak mungkin tidak kita pikirkan,” ujarnya.
Selanjutnya, adalah komitmen sebagai seorang istri dan juga ibu untuk buah hati tercinta. Ia berusaha sebisa mungkin menyelesaikan urusan rumah tangga sehingga sang suami dan anak-anak tercinta betah di rumah. Inilah pentingnya fungsi dan peran keluarga dalam kehidupan sosial maupun bernegara. Sebagai seorang ibu, Prita juga tak menyerahkan sepenuhnya pengasuhan anak pada pengasuh. “Hubungan ibu dan anak sangat erat. Komunikasi tak boleh putus. Saya juga harus terus memonitor apa kegiatan anak-anak di luar,” katanya. *
Tak Khawatir dengan MEA
DI antara lulusan London School of Public Relation (LSPR), sederet nama menjadi bintang tenar. Setidaknya nama Sandra Dewi dan Titi Kamal adalah produk binaan LSPR yang kini dikenal sebagai artis. Sementara mayoritas lulusan LSPR menggeluti dunia public relation.
Kembali ke soal persaingan public relation di masa MEA, Prita meyakinkan kesiapan dari segi knowledge. “Dari segi strategi kita jauh lebih siap. Karena teman – teman saya di Malaysia itu khawatir, jangan main–main dengan ASEAN, Indonesia itu masuk G20, teman–teman dari Malaysia mengagumi Indonesia, Tapi kita saja yang merasa biasa saja. Padahal di luar orang mengagumi kita. One of the ASEAN member is G20 member, yaitu Indonesia. Kita juga dipandang sukses menghelat acara tingkat dunia, mulai dari APEC yang berjalan sangat sukses. Hasil dari APEC bagaimana kita mensosialisasikannya,” kata Prita seperti dikutip femina beberapa waktu lalu.
Jika saling terintegrasi dalam Komunitas ASEAN, Prita pun menilai bagus. Pasalnya Indonesia bisa belajar dari negara–negara lain. Malaysia dan Singapura, misalnya, yang bekas jajahan Inggris, bisa memberikan informasi kepada kita orang Inggris seperti apa. Indonesia pernah dijajah Belanda, sehingga kita lebih tahu bagaimana orang Belanda. Begitu juga Filipina pernah dijajah Portugis dan Amerika. “Nah bagaimana best practice ini kita sinergikan. Untuk mensinergikan kita harus singkirkan ego masing – masing,” kata salah satu EY Entrepreneurial Winning Women Asia-Pacific 2015.
Jadi selain tantangan ada banyak peluang yang dinilainya bisa diperoleh dari MEA. “Kita ini menjadi magnet. Semua orang mengincar pasar Indonesia. Tentunya kompetensinya harus diperhatikan, apalagi profesi PR belum masuk dalam 8 profesi yang sudah ada MRA (Mutual Recognition Agreement). Delapan profesi yang masuk dalam MRA itu juga ada ketentuannya. Misalnya, dokter yang bisa masuk ke Indonesia itu dokter yang seperti apa. Kalau tidak ada MRA malah lebih gawat. Tapi sekarang di tengah eranya pasar bebas kalau dokter lokal sudah kompeten, dokter luar mau praktek dimana?” tanyanya.
Lembaga pendidikan PR di Indonesia pun dinilainya sudah terbiasa bergaul di level internasional. “Kita sudah sering menyelenggarakan program dual degree, twinning program, student exchange, sehingga jaringan internasional kita sudah kuat. Bahkan, bukan hanya di ASEAN tapi juga ke benua lain, seperti Australia. Dari segi kurikulum kita juga sudah kuat, apalagi di era internet kita sekarang bisa melihat kurikulum setiap kampus di seluruh dunia secara terbuka,” ujar Prita yang pernah mengikuti EY Entrepreneurial Winning Women Asia-Pacific (EWWAP) ini.
Program studi PR di seluruh Indonesia, kata Prita, ada sekitar 200-an, kendati yang bagus dan terakreditasi ada 130. “Ini yang terbesar di ASEAN. Nomor dua besar adalah Filipina. Dari sisi akademisinya kita juga lebih banyak. Orang – orang yang paham tentang komunikasi jadi lebih banyak di sini. Bahkan kalaupun ditotal dan dibandingkan dengan negara anggota ASEAN lainnya seperti Malaysia, Myanmar, dan lainnya itu pun belum sampai sebanyak sekolah komunikasi di Indonesia. Jadi secara populasi akademisi kita juga lebih banyak,” jabarnya.*Sberbagai sumber
Leave A Comment