Sumber : Kompas Minggu
Judul : Jurus Teater Prita Kemal
Tanggal : 3 Januari 2016
Penulis : Mohammad Hilmi Faiq & Putu Fajar Arcana
Link : (not found)
Prita Kemal Gani memungut teater dari “jalanan” sebagai anak liar.Ia kemudian menempatkannya di kemuliaan kampus dan para mahasiswanya. Teater sebagai si anak liar yang “tak terurus” bahkan dijadikan kuliah dasar yang wajib diikuti seluruh mahasiswa.Bukan soal mengangkat derajat seni, melainkan menjadikan seni teater sebagai sumber pengetahuan dan ilmu komunikasi.
Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi The London School of Public Relation (Stikom LSPR) juga dibangun Prita dari kontrakan satu ke kontrakan lain. Kampus sebagai tempat belajar para mahasiswanya berpindah-pindah seperti anak kos. Bahkan, kata Prita, mereka pernah harus pindah seketika karena gedungnya diambil pemiliknya.”Kami sampai mengontrak di Gedung Dewan Pers, yang waktu itu sudah lama tidak dipakai,” kenang Prita.Seiring waktu, LSPR kini dikenal sebagai salah satu kampus terbaik untuk belajar sebagai praktisi public relations di Indonesia.
Apa pertimbangannya memasukkan teater sebagai mata kuliah di LSPR?
Teater itu dasar komunikasi.Dari teater, siswa belajar vokal, mengingat, sampai mimik muka. Itu dasar komunikasi. Kalau komunikasi tanpa mimik,gesture, dan vokal yang benar, itu kan kurang bagus. Makanya, anak-anak LSPR rata-rata berani kalau presentasi. Mereka juga belajar manajemen audience, itu bagian dari teater.
Saya sama sekali tidak khawatir disebut kampus seni. Kalau boleh dibilang, kami meminjam ilmu teater untuk belajar komunikasi yang lebih manusiawi.
Sejak kapan teater diajarkan dan dipraktikkan?
Mata pelajaran teater sudah ada sejak tahun 2000, tetapi studiPerforming Art secara khusus baru ada sejak 2008.Saya lihat anak-anak senang dengan teater, jadi kita benar-benar buat Performing Art.Kami juga melakukan penelitian untuk menyusun kurikulum teater.Teater menjadi salah satu konsentrasi pendidikan di LSPR.Program studinya tetap komunikasi.
Dengan berteater, anak-anak terlatih menjaga komitmen.Mereka belajar memahami konsekuensi.Jika tidak latihan serius, tidak bisa tampil bagus. Mereka menghafal dialog, gerak, suara, dan stamina. Itu kami ajarkan di semester awal.Kami memasukkan teater sebagai dasar ilmu komunikasi.
Performing Art menjadi satu program studi di LSPR, selain mata kuliah teater pada semester awal. Prita merekrut tokoh-tokoh teater dan sastrawan, seperti Arswendo Atmowiloto, Harris Priadi Bah, dan Yani Mae, untuk mengajar ilmu teater.Para mahasiswa mempelajari teater tidak sebatas teori, tetapi mewujudkannya ke dalam satu pertunjukan pada akhir semester.”Dan, itu diperlombakan antarkelas dengan juri-juri yang qualified,” kata Prita.Pada saat pementasan, para mahasiswa harus mengelola sendiri, mulai dari merencanakan sampai mencari penonton. “Semua itu, kan, latihan bekerja sama, latihan komunikasi intinya,” ujar Prita.
Ia kemudian memberi contoh saat mahasiswa LSPR mementaskan lakon “Jersey Boys” tentang Frankie Valli. Dengan anggaran terbatas, para mahasiswa dipaksa menyajikan tontonan yang panjang dan menarik. Dari sisi properti, anggaran itu tidak akan mencukupi.
Maka, mereka pun memutar otak membeli baju bekas di Senen lalu meminta tukang jahit di Tanah Abang memodifikasi baju sebagai properti pertunjukan. “Mereka menjadi kreatif.”
Secara pribadi, apakah Anda menyukai teater?
Saya penikmat teater, tetapi tidak main teater he-he-he..
Model pengajaran teater ini mencangkok dari mana?Apakah gagasan asli dari Anda?
Dulu, ada warga Filipina mengajar di LSPR dan suka teater.Kemudian, mulai memperkenalkan kepada anak-anak dan mereka suka. Dari situ, pikiran saya mulai terbuka bahwa teater itu penting. Justru orangtua siswa yang awalnya resisten. Mereka berpikir, “Mau jadi apa anakku nanti.” Padahal, teater itu ilmu komunikasi masa depan. Saya percaya itu..
Bagaimana prosesnya teater menjadi mata kuliah resmi?
Kami mengundang pihak Academy of Art London untuk menyusun kurikulum selama enam bulan. Banyak yang tak bisa diaplikasikan karena untuk menjadi pekerja teater masih susah di Indonesia ini. Kalau di London gampang.Di Indonesia penontonnya masih kurang.Pemain teater belum bisa menjadi profesional yang benar-benar (menjanjikan).Saya berharap teater bisa menjadi profesi yang menjanjikan kelak. Di London dan Tiongkok, kan, ramai.
Kami meyakini, teater itu penting.Sampai sekarang sudah 160 pertunjukan.Dalam setahun bisa sampai 27 pertunjukan di luar Performing Art Festival. Anak-anak (mahasiswa) sangat semangat dengan mengajak bapak, ibu, tante, dan keluarga lain untuk menonton. Sekali tampil bisa sampai 200 penonton, padahal hanya satu kelas dalam satu malam, makanya kadang kita pentas sampai 14 hari.
Dari sisi keilmuan, selama 15 tahun teater diajarkan, apa ukuran keberhasilannya?
Anak-anak yang ikut teater lebih mudah beradaptasi, lebih mudah diterima kerja. Mereka team work-nya bagus karena terbiasa kerja tim. Banyak juga yang sudah mendapat kerja sebelum lulus.
Lakon-lakon yang kami pentaskan itu sarat nilai. Seperti Jersey Boys tadi atauCatch Me If You Can. Dia nipu sana, nipu sini, tetapi akhirnya menjadi orang baik. Anak-anak tidak sekadar tahu jalan cerita. Mereka masuk ke dalam karakter lakon tersebut sehingga ada proses internalisasi nilai.
Selain itu, anak-anak yang mengambil jurusan Performing Art juga diwajibkan magang sebagai guru teater di sekolah dasar dan sekolah menengah.Ini menjadi marketing bagi LSPR bahwa teater itu bagus dan penting.
Ruang 12 meter
LSPR yang dikenal secara populer kemudian berubah menjadi LSPR Institute of Communication and Management.Jumlah mahasiswanya kini mencapai lebih dari 5.000 orang.Tidak banyak yang tahu bahwa lembaga pendidikan bergengsi ini lahir dari ruang sempit.
Dulu Prita bercita-cita menjadi guru. Ketika pulang dari London, setelah menyelesaikan studi manajemen, ia membuka pelatihan untuk anak-anak komunikasi. Awal tahun 1990-an, ilmu PR masih asing.Prita melihat ada peluang.Kebetulan waktu itu dia bekerja di sebuah perusahaan pusat kebugaran yang mempunyai 18 cabang di berbagai gedung di Jakarta, salah satunya Wisma Metropolitan di bilangan Sudirman.
“Aku deal dengan pemilik gedung. Membuat usaha tidak harus punya gedung sekolah sendiri. Saya menyewa ruangan 12 meter persegi untuk pendaftaran di Wisma Metropolitan. Pesertanya 30 orang.Kursus tiga bulan, dengan pertemuan seminggu dua kali.Itu tahun 1992,” cerita Prita.
Tahun 1993, pelatihan itu pindah ke Wisma Dharmala.Di sini ruangannya lebih luas karena Prita menyulap tiga lantai lapangan parkir menjadi kelas.Dia memasang listrik sendiri untuk menekan biaya sewa.Para mahasiswanya adalah pekerja yang ingin menambah ilmu.Pengajarnya para istri ekspatriat di Jakarta.
Lima tahun kemudian, Indonesia terkena krisis moneter.Banyak anak lulusan SMA batal sekolah ke luar negeri, terutama ke Inggris, karena nilai tukar dollar melambung.Poundsterling mencapai Rp 22.000.Anak-anak itu lalu disekolahkan di LSPR.”Biasanya dulu orang-orang yang sudah kerja, kalau sekarang mahasiswanya kebanyakan fresh graduate dari SMA.Kami langsung berpikir untuk bikin program satu tahun,” kata Prita.
Bagaimana ceritanya bisa berkembang seperti sekarang?
Setelah setahun krisis belum reda. Saya pikir, kenapa enggak buat saja sampai S-1. Pada saat itu, Pak Malik Fadjar (Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI) memberikan kesempatan sekolah-sekolah untuk membuat program S-1 meski tidak punya aset tanah. Sekarang tidak bisa begitu. Sekarang harus punya tanah 5.000 meter persegi dan gedung 10.000 meter persegi. Saya diuntungkan krisis sehingga bisa jadi sekolah tinggi he-he-he..
Namun, tahun itu banyak pengajar kami yang pulang karena krisis..Saya berpikir, saya pakai orang-orang Filipina saja.Mereka tidak hitungan. Kalau bule biasanya bilang, oke I will do my best but you only pay me for one and half hour. Namun, orang Filipina ini lebih ramah dan pekerja keras, pintarpublic speaking. Anak-anak (mahasiswa) melihat mereka mukanya sama (Melayu), tetapi pintar bahasa Inggris, jadi lebih menginspirasi. Inilah mengapa banyak orang Filipina di LSPR.
Saat itu, berapa jumlah mahasiswa?
Kira-kira sudah 700 mahasiswa. Karena semakin banyak, kami menyewa ruangan di gedung Dewan Pers. Ada restoran Jepang yang tutup tujuh tahun di sana. Sudah mau ambruk.Kami betulin. Murah.Kita bikin bagus. Banyak sekali anak orang kaya, mobilnya bagus kuliah di sana. Di sana ada tujuh kelas. LSPR bikin tiga shif: pagi, siang, dan malam.
Kami juga menyewa gedung di Continental. Di situ sering dimatiin listriknya karena pemiliknya bermasalah. Mahasiswa terus bertambah sampai 1.500 orang sehingga kami menambah sewa gedung di Intiland Tower. Waktu pindahan, dibantuin mahasiswa dengan meminjam mobil orangtua mereka.
Ketika gedung di Dewan Pers mau ambruk, kami ditawari pindah ke Sudirman Park. Kami kemudian menawarkan siapa orangtua yang mau membayar di muka untuk dua, tiga, atau empat tahun ke depan. Ini demi pengajaran lebih baik. Makanya cepat pembangunannya.
Kini, LSPR beroperasi di Intiland Tower dan Sudirman Park. Sebentar lagi mereka mempunyai kampus di Jati Warna. Kampus ini fokus untuk pementasan teater. “Biasanya kami pentas menunggu kelas bubar. Kalau gedung ini sudah beroperasi, bisa lebih leluasa,” kata istri dari Kemal Effendi Gani ini.
Namanya kok The London School of Public Relations?Apa kaitannya dengan kota London, Inggris?
Pertama, karena saya sekolah di London. Kedua, karena dapat akreditasi dari London Chamber, kamar dagangnya London.Nama itu juga cuma mikirsebentar. Lagi di mobil di jalan, habis isi bensin, tercetus nama London. Saya lalu berdiskusi dengan British Council dan Kedutaan Besar Inggris (di Jakarta).Mereka pun datang waktu peresmian nama pada 1 Juli 1992.
Leave A Comment